Ingat.. 9 APRIL 2014, Pemilihan Caleg DPRD Kab.Tangerang, Lihat No.7 Partai Demokrat dan COBLOS Caleg No.3-SUGITO.SE

Akar Masalah Kemiskinan Nelayan dan Solusinya


Dari dulu sampai sekarang, kalau orang dengar kata nelayan seolah-olah identik dengan kemiskinan.  Karena memang faktanya sebagian besar nelayan hingga kini masih banyak yang miskin.  Ini sungguh sebuah ironi, karena laut Indonesia memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut yang cukup besar, sekitar 6,51 juta ton/tahun atau 8,2% dari dari total MSY ikan laut dunia.  Lebih dari itu, sejak awal 1980-an (pemerintah Orde Baru) sampai saat ini telah banyak banyak program pemerintah digulirkan untuk mengatasi kemiskinan nelayan. Lalu apa yang salah?.  Boleh jadi kebijakan dan program nya kurang tepat, atau implementasinya yang tidak sesuai dengan rencana.
Akar kemiskinan nelayan
            Banyak faktor yang menyebabkan mayoritas nelayan di Indonesia masih terlilit derita kemiskinan.  Sejumlah faktor itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) faktor teknis, (2) faktor kultural, dan (3) faktor struktural.
            Dalam tataran praktis, nelayan miskin karena pendapatan (income) nya lebih kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan diri nya dalam kurun waktu tertentu.  Sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial/modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu.
            Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung pada nilai jual ikan hasil tangkap dan ongkos (biaya) melaut.  Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh ketersediaan stok ikan di laut, efisiensi tekonologi penangkapan ikan, dan harga jual ikan.  Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan harga dari BBM, perbekalan serta logistik yang dibutuhkan untuk melaut yang bergantung pula pada ukuran (berat) kapal dan jumlah awak kapal ikan.  Selain itu, nilai investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan pendukungnya sudah tentu harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut.  Berdasarkan pada sejumlah variables yang mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut, sedikitnya ada sembilam permasalahan teknis yang membuat sebagian besar nelayan masih miskin. 
            Pertama, banyak nelayan yang kini melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok SDI (sumber daya ikan) nya mengalami overfishing (tangkap lebih).  Secara nasional, total potensi produksi lestari (MSYMaximum Sustainable Yield) SDI di seluruh wilayah laut Indonesia, termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), sebesar 6,52 juta ton/tahun  (Komnas Kajiskan, 2010).  Pada 2010 total produksi ikan hasil tangkapan dari laut mencapai 5,1 juta ton (KKP, 2011) atau sekitar 78% dari total MSY.  Agar stok SDI tetap lestari dan usaha perikanan tangkap bisa berkelanjutan, maka laju (tingkat) penangkapan SDI maksimal sebesar 80% MSY (FAO, 1995).  Artinya, status pemanfaatan SDI laut Indonesia saat ini hampir mendekati jenuh (fully exploited).  Bahkan banyak kelompok SDI terutama udang penaeid, ikan demersal, ikan pelagis besar, dan ikan pelagis besar di banyak wilayah pengelolaan perikanan (WPP) telah mengalami overfishing .
Indikator kondisi overfishing dari suatu stok SDI adalah: (1) total volume ikan hasil tangkapan (produksi) lebih besar dari MSY  SDI tersebut; (2) hasil tangkapan ikan per satuan upaya tangkap (Catch per unit of effort) cenderung menurun; (3) rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil; dan (4) fishing ground (daerah penangkapan ikan) semakin menjauh dari daratan, atau semakin dalam ke dasar laut seperti yang sedang terjadi pada stok ikan lemuru di Selat Bali dalam dua tahun terakhir.  Oleh sebab itu, overfishing jelas mengakibatkan volume ikan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan semakin menurun.  Apabila, kegiatan penangkapan ikan dengan laju yang lebih besar dari pada MSY dibiarkan terus, maka bukan hanya pendapatan nelayan yang bakal kian menurun, tetapi stok ikan pun bisa punah seperti yang dialamai oleh stok ikan lemuru di perairan Selat Malaka, ikan terbang di perairan laut selatan Sulawesi, dan lainnya.
Permasalahan lainnya adalah karena sebagian besar (95%) nelayan nasional menggunakan kapal ikan yang tidak bermesin atau kapal bermesin di bawah 30 GT dengan alat tangkap yang umumnya tradisional (kurang efisien), maka mereka sebagian besar menangkap ikan di perairan laut dangkal kurang dari 12 mil laut yang pada umumnya telah fully exploited (laju penangkapan sama dengan MSY) atau overfishing.  Konsekuensinya, hasil tangkapan ikan per satuan upaya (kapal ikan atau alat tangkap) dan pendapatan pun rendah.  Sementara itu, fishing grounds yang masih produktif (underfishing) sebagian besar dijarah oleh armada kapal ikan asing.  Fishing grounds tersebut meliputi ZEEI Samudera Hindia, Laut Natuna dan ZEEI Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Sulawesi, ZEEI Samudera Pasifik, Laut Banda, Laut Arafura, dan wilayah laut dalam serta wilayah laut perbatasan lainnya.
Kedua, pencemaran laut, perusakan ekosistem pesisir (seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) yang semakin dahsyat, dan perubahan iklim global ditenggarai menurunkan stok (populasi) SDI.

Ketiga, sebagian besar nelayan menangani (handling) ikan hasil tangkapan selama di kapal sampai di tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) belum mengikuti cara-cara penanganan yang baik (Best Handling Practices).  Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di tempat pendaratan sudah menurun atau bahkan busuk, sehingga harga jualnya murah.  Hal ini disebabkan karena kebanyakan kapal ikan tidak dilengkapi dengan palkah pendingin atau wadah (container) yang diberi es untuk menyimpan ikan agar tetap segar.  Selain itu, banyak nelayan tardisional yang beranggapan bahwa membawa es berarti menambah biaya melaut, apalagi kalau tidak dapat ikan atau hasil tangkapnnya sedikit, atau esnya mencair sebelum mendapatkan ikan, maka rugi besar.

Keempat, hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storage dan tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis.  Sehingga, semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan.  Hampir semua nelayan tradisional tidak bisa mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan samudera (PPS) atau pelabuhan perikanan nusantara (PPN) yang pada umumnya sudah memenuhi persyaratan sanitasi dan higienis, karena mereka harus membayar biaya tambat-labuh yang mahal (tidak terjangkau).

Kelima, di masa paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan.  Bagi nelayan dan anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak ada income, sehingga mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per bulan.  Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam ‘lingkaran setan kemiskinan’, karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.

Keenam, pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya tinggi (mahal), tetapi begitu musim ikan (peak season) tiba, harga jual mendadak turun drastis.  Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara (middle-man), tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir.  Sehingga, harga jual ikan yang mereka peroleh jauh lebih murah dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen terakhir.  Padahal, jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih dari dua tingkatan.

Ketujuh, kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain, BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari pedagang perantara yang jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak langsung dari pabrik atau produsen pertama.  Sehingga, nelayan membeli semua sarana produksi perikanan tersebut dengan harga yang lebih mahal ketimbang harga sebenarnya di tingkat pabrik.  Kondisi ini tentu membuat biaya melaut lebih besar dari pada yang semestinya.

Kedelapan, harga BBM dan sarana produksi untuk melaut lainnya terus naik, sementara harga jual ikan relatif sama dari tahun ke tahun, atau kalaupun naik relatif lamban.  Hal ini tentu dapat mengurangi pendapatan nelayan.

Kesembilan, sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master, dan ABK ditenggarai jauh lebih menguntungkan pemilik kapal. Dan, yang paling dirugikan adalah ABK.  Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern (diatas 30 GT) beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah sejahtera, bahkan kaya.  Sementara, ABK nya masih banyak yang miskin.


Dalam pada itu, seiring dengan terus meningkatknya harga-harga kebutuhan pokok (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi), maka pengeluaran nelayan pun terus membesar dari tahun ke tahun.
Kultur (etos kerja) nelayan pada umumnya juga belum sejalan dengan etos kemajuan dan kesejahteraan.  Dari sisi pengeluaran, rata-rata ukuran keluarga nelayan adalah 5 jiwa (orang) yang terdiri dari ayah, ibu, dan 3 anak, lebih besar ketimbang rata-rata ukuran keluarga secara nasional yang hanya 4 jiwa.  Lebih dari itu, kebanyakan nelayan juga lebih boros dibandingkan dengan petani, dan nelayan enggan untuk menabung.  Dari sisi pendapatan, banyak nelayan yang ketika suatu hari atau trip mendapatkan banyak ikan, lalu hari atau trip berikutnya tidak mau ke laut mencari ikan.  Demikian juga halnya, saat musim paceklik ikan, nelayan pada umumnya segan atau tidak mau bekerja di sektor ekonomi lainnya, seperti budidaya tambak, pertanian pangan, hortikultura, peternakan, dan menjadi karyawan/buruh.  Masih banyak nelayan yang resisten alias tidak mau menerima inovasi teknologi baru, baik yang berkaitan dengan teknologi penangkapan, pengelolaan lingkungan hidup, maupun manajemen keuangan keluarga.  Semua ini membuat banyak keluarga nelayan yang pola hidupnya ibarat ‘lebih besar pasak dari pada tihang’.  Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang umumnya rendah diyakini menjadi penyebab utama mengapa banyak keluarga nelayan memiliki budaya yang berlawanan dengan etos kemajuan dan kesejahteraan.
Faktor yang boleh jadi merupakan penyebab dominan dari kemiskinan nelayan adalah yang bersifat struktural, yakni kebijakan dan program pemerintah yang tidak kondusif bagi kemajuan dan kesejahteraan nelayan.  Mahal dan susah didapatkannya BBM, alat tangkap, beras, dan perbekalan melaut lainnya bagi nelayan, terutama nelayan di luar Jawa, wilayah perbatasan, dan pulau-pulau kecil terpencil, merupakan bukti nyata dari minimnya kepedulian pemerintah kepada nelayan.  Demikian juga halnya dengan sumber modal.  Sampai saat ini nelayan, terutama yang tradisional, masih sangat sulit atau tidak bisa mendapatkan pinjaman kredit dari perbankan.  Bayangkan, kapal ikan yang terbuat dari kayu, sebesar apapun, belum bisa dijadikan sebagai agunan.  Prasarana pendaratan ikan atau pelabuhan yang memenuhi persyaratan santitasi dan higienis yang dilengkapi dengan industri hilir (pengolahan hasil perikanan) juga masih terbatas bagi nelayan.  Harga jual ikan yang sangat fluktuatif (tak menentu) juga belum secara tuntas diatasi oleh pemerintah. Alih-alih ikan impor membanjiri pasar domestik kita dalam tiga tahun terakhir.
Kegiatan pencurian ikan (illegal, unregulated and unreported fishing) oleh nelayan asing yang kian marak juga tidak diberantas secara sungguh-sungguh.  Akhir-akhir ini banyak pengusaha nasional yang ‘nakal’ menggunakan kapal ikan asing yang benderanya sudah diubah menjadi bendera Indonesia beroperasi menangkap ikan di Indonesia.  Padahal, kapal-kapal eks asing itu sejatinya masih milik pengusaha asing, seperti Thailand, Taiwan dan RRC.  Ikan hasil tangkapnya hanya sebagian kecil didaratakan di pelabuhan perikanan Indonesia, hanya untuk mengelabuhi (kamulflase) aparat pemerintah dan rakyat Indonesia.  Sedangkan, porsi besar ikannya dibawa ke negara masing-masing dan diproses di sana.  Selain rugi ikan, Indonesia pun dirugikan melalui BBM bersubsidi yang sejatinya untuk nelayan nasional, jadi dimanfaatkan oleh nelayan asing.
Demikian pula, dengan masalah pencemaran laut dan perusakan eksistem pesisir yang menjadi tempat pemijahan dan asuhan ikan serta biota laut lainnya malah semakin hari semakin parah.  Strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global juga belum disiapakan dengan baik.  Dan, banyak kendala struktural lainnya yang hingga kini belum diatasi oleh pemerintah.
Jurus mensejahterakan nelayan
            Beranjak dari anatomi permasalahan kemiskinan nelayan di atas, maka kebijakan, strategi, dan program untuk memerangi kemiskinan nelayan dan sekaligus mensejahterahkannya haruslah bersifat komprehensif, terpadu, dan sistemik serta dikerjakan secara berkesinambungan.  Tidak bisa dilakukan dengan pendekatan proyek seperti yang kini dilakukan, dengan membagi-bagi kapal ikan kepada nelayan, tanpa mempersiapkan kapasitas mereka, dan tanpa memperhatikan keseimbangan antara ketersediaan stok ikan dan upaya tangkap.  Cara-cara semacam ini hanya membuat mental nelayan rusak, yakni membuat mereka manja dan hanya mau menjadi ‘tangan di bawah’, bukan ‘tangan di atas’.  Faktanya, sekarang banyak kapal bantuan itu tidak bisa dimanfaatkan oleh nelayan secara optimal.  Salah sasaran, karena si penerima biasanya konstituen dari partai si pemberi bantuan.
            Oleh karena itu, mulai sekarang kita perlu menerapkan grand design manajemen pembangunan perikanan tangkap yang tepat, benar dan berkelanjutan.  Sehingga, ia mampu menjaga kelestarian stok SDI, meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan meningkatkan kontribusi sub-sektor perikanan tangkap bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa secara berkelanjutan.
Untuk pertama yang harus dilakukan adalah menata ulang dan memastikan, bahwa jumlah upaya tangkap dan laju penangkapan di suatu wilayah perairan laut (WPP, wilayah laut yang menjadi kewenangan pengelolaan pemerintah kabupaten/kota atau provinsi) tidak boleh melebihi 80% MSY SDI.  Atau, untuk wilayah-wilayah yang padat penduduk dan tinggi angka penganggurannya, bisa sampai sama dengan MSY SDI.
Selanjutnya, jumlah kapal ikan yang beroperasi di setiap wilayah perairan laut itu ditetapkan dengan cara membagi nilai MSY atau 80% MSY dengan catchability (kapasitas menangkap) kapal ikan.  Jenis dan ukuran kapal ikan beserta alat tangkapnya mesti yang efisien dan ramah lingkungan, sehingga memungkinkan bagi nelayan ABK mendapatkan income yang mensejahterakan, yakni rata-rata Rp 2.550.000/nelayan/bulan[1].  Dengan incomesebesar itu, nilai total MSY sebesar 6,52 juta ton/tahun, dan rata-rata harga ikan yang berlaku sekarang, maka jumlah nelayan Indonesia seharusnya sekitar 1,9 juta orang saja.  Karena jumlah nelayan laut sekarang sekitar 2,3 juta orang, maka secara bertahap sisanya yang 400.000 orang harus dialihkan ke mata pencaharian (usaha) lain seperti budidaya laut (mariculture), budidaya tambak, budidaya di perairan air tawar, budidaya dalam akuarium, budidaya garam, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, industri mesin dan peralatan perikanan, industri galangan kapal, dan industri serta jasa penunjang perikanan lainnya, yang peluang pengembangannya masih terbuka lebar. Segenap usaha alternatif  ini dapat juga dijadikan sebagai matapencaharian bagi nelayan pada saat musim paceklik.
Mengingat persebaran armada kapal ikan nasional sangat tidak merata, maka wilayah-wilayah perairan laut yang dekat dengan konsentrasi pemukiman penduduk, seperti Selat Malaka, Pantura, Selat Bali, dan Pantai Selatan dan Barat Sulawesi, dipadati dengan kapal-kapal ikan, sehingga mengakibatkan overfishing.  Sementara itu, ada beberapa wilayah perairan laut yang status pemanfaatan SDI nya masih underfishing (Gambar 1), dan ada wilayah perairan laut Indonesia yang SDI dipanen secara ilegal oleh armada kapal ikan saing seperti yang telah disebutkan diatas.  Oleh karena itu, jumlah upaya tangkap (kapal ikan) di wilayah-wilayah laut yang overfishing harus dikurangi sampai mencapai nilai MSY.  Dan, kelebihan kapal ikan dari wilayah overfishing dapat dipindahkan ke wilayah yangunderfishing (relokasi kapal ikan dan nelayan).  Dengan demikian, kita akan mendapatkan keuntungan ganda.  Di satu sisi kita memanfaatkan SDI di wilayah laut underfishing yang selama ini dicuri oleh nelayan asing dan mengembangkan ekonomi wilayah di luar Jawa. Di sisi lain, kita memberi kesempatan bagi SDI di wilayah-wilayah laut yang overfishing untuk pulih kembali.

Gambar 1. Peta Status Eksploitasi Sumberdaya Ikan di WPP RI
(Sumber : Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan (2011))
 Kebijakan untuk mengembangkan armada perikanan tangkap modern (diatas 30 GT) di wilayah-wilayah laut yangunderfishing dan/atau yang selama ini dirambah oleh armada kapal ikan asing sesungguhnya sangat tepat jika dijadikan basis untuk pengembangan program MINAPOLITAN dan MP3EI.  Oleh sebab itu, pengembangan MINAPOLITAN berbasis perikanan tangkap seyogyanya difokuskan sekitar laut Natuna, Selat Karimata, dan ZEEI Laut Cina Selatan (Provinsi Kepri, Babel, dan Kalbar); Laut Sulawesi
Atas dasar alokasi jumlah kapal ikan yang berbasis pada ketersedian stok SDI secara lestari di setiap wilayah pengelolaan perikanan itulah kita membangun pelabuhan perikanan beserta segenap prasarana dan sarana pendukungnya.  Ini untuk memastikan bahwa berapapun volume ikan yang didaratkan oleh nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat ditangani dengan baik, sehingga mutunya tetap baik dan harga jualnya selalu memenuhi nilai keekonomian alias menguntungkan nelayan. Untuk jenis-jenis SDI bernilai ekonomis penting (udang, lobster, kerapu, tuna, kakap, bawal, tenggiri, dan baronang) mesti ditangani sejak dari kapal, pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) hingga ke konsumen terakhir dengan menerapkan sistem rantai dingin (cold chain system) atau dalam keadaan hidup (life fish).
Industri hilir, mesin dan peralatan perikanan, galangan kapal, dan industri serta jasa penenunjang perikanan sejak sekarang mesti diperkuat dan dikembangkan.
Seluruh BBM dan sarana produksi perikanan lainnya harus tersedia dengan harga relatif murah di seluruh tempat pendaratan ikan dan pelabuhan perikanan di wilayah NKRI.  Infrastruktur (jalan, listrik, telkom, pelabuhan, air bersih, dan lainnya) dan kawasan pemukiman nelayan mesti diperbaiki dan dibangun baru menjadi kawasan yang sehat, bersih, indah, aman, dan produktif.
Kegiatan IUU fishing oleh nelayan asing maupun nelayan nasional harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.  Pencemaran laut harus dikendalikan, sehingga konsentarsi bahan pencemar di perairan laut memenuhi ambang batas aman bagi perikanan.  Ekosistem pesisir yang terlanjur rusak mesti direhabilitasi, selebihnya harus dikonservasi melalui manajemen berbasis kawasan lindung laut (marine protected area).  Strategi dan program adaptasi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim global harus disiapkan sejak sekarang.
Program diklatluh (pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan) untuk peningkatan kapasitas dan budaya nelayan agar lebih kondusif untuk kemajuan dan kesejahteraannya perlu lebih dtingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya, secara sistematis dan berkesinambungan.
Akhirnya, seluruh kebijakan politik-ekonomi termasuk fiskal dan moneter, perdagangan (ekspor – impor), dan iklim investasi harus dibuat kondusif bagi kinerja maksimal sub-sektor perikanan tangkap.
Lampiran

Tabel Struktur Armada Kapal Tahun 2010

Kategori dan Ukuran Kapal/Perahu                                                   
Tahun
Presentasi
                                 

(%)

2010

 Jumlah
590,420
100.00
  Perahu Tanpa Motor
189,630
32.12
  Perahu Motor Tempel
238,430
40.38
Kapal Motor
162,360
27.50
 
< 5  
GT
106,660
18.07
Ukuran
5 – 10  
GT
32,800
5.56
Kapal Motor -
10 – 20  
GT
9,030
1.53
Size of Boat
20 – 30  
GT
7,500
1.27
 
30 – 50  
GT
2,420
0.41
 
50 – 100  
GT
2,280
0.39
 
100 – 200  
GT
1,320
0.22
 
> 200  
GT
350
0.06
            Sumber : KKP (2011)


Tabel Jumlah Pelabuhan Perikanan Berdasarkan Kelas Tahun 2010
No.
Kelas
Jumlah

Jumlah
968
1
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)  
6
2
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)  
13
3
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)  
47
4
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) –  
900
5
Pelabuhan Perikanan Swasta

Sugito Movie


By : Media Center Sugitopati Demokrat
Klik untuk melihat
Anda bisa melihat dan membaca artikel dari bolg kami :

Sabar sejenak kami sedang memuat...
DTE :]

(Klik Disini) Lihat Peta Taman Walet

SUGITO.SE
CALEG NO.3 PARTAI DEMOKRAT
DPRD KAB.TANGERANG 2014
DAPIL 3 : PASAR KEMIS, SINDANGJAYA dan RAJEG
MEDIA CENTER
Email : sugitopati@ymail.com
SMS Online : 0856-9333-7299