Ingat.. 9 APRIL 2014, Pemilihan Caleg DPRD Kab.Tangerang, Lihat No.7 Partai Demokrat dan COBLOS Caleg No.3-SUGITO.SE

Nasib Nelayan Kian Memburuk


Ya, sejak dua pekan terakhir, bibir pantai utara mulai dijejali oleh ratusan kapal nelayan. Cuaca buruk yang terjadi belakangan ini membuat ribuan nelayan tak kuasa bergerak ke laut lepas. Tak pelak, kondisi itu pun membuat ekonomi nelayan menjadi terpuruk. Bahkan untuk bertahan hidup, para nelayan terpaksa berutang dengan sejumlah warung nasi yang ada. “Cuaca lagi tak bersahabat. Gelombang besar pertanda laut sedang pasang. Daripada karam, lebih baik kami menunggu sampai cuaca kembali normal,” kata Haerun Kamal, seorang nelayan.
Uang hasil melaut terakhir dua pekan lalu, kini sudah tak tersisa lagi. Agar bisa bertahan, Haerun Kamal terpaksa mengutang makan di warung nasi langganannya. “Biasanya kami seminggu berada di laut dan dua hari di darat. Sekali melaut, bisa menghasilkan Rp 300.000. Kami berharap badai segera berlalu,” ujarnya seraya berharap.
Keluhan senada juga dilontarkan Sugono, nelayan lainnya. Nelayan muda ini bahkan terpaksa menunda pernikahannya akibat kondisi cuaca yang tidak bersahabat. “Harusnya saya menikah akhir Februari ini. Tapi karena cuaca buruk, saya jadi tidak bisa melaut. Alhasil, pernikahan terpaksa ditunda dulu sampai April karena biaya kurang,” ujar Sugono polos.
Keluhan Haerun Kamal dan Sugono hanya bagian kecil dari derita yang kini dialami ribuan nelayan Pantura, Tangerang. Selain persoalan cuaca yang tak menentu, para nelayan kini juga masih dihadapkan dengan persoalan bahan bakar minyak (BBM). Mereka berharap, pemerintah bisa lebih memerhatikan nasib nelayan. Harapan itu semata demi perubahan nasib menjadi yang lebih baik.Pokok permasalahan nelayan di semua daerah di Indonesia semua sama apa yang dirasakan oleh nelayan di Pantura, Tangerang.  Fenomena kemiskinan nelayan di negeri ini sudah berlangsung lintas generasi dan seakan tidak pernah berhenti seiring dengan perkembangan jaman dan gempitanya pembangunan. Kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh karena faktor struktur kuasa sosial-politik yang tidak berpihak kepada masyarakat nelayan miskin.
Masyarakat nelayan miskin tidak mempunyai hak atas kuasa sumber daya perikanan karena keterbatasan sumber daya dan keterbatasan akses. Kawasan lautan kebanyakan diakses dan didominasi oleh pemilik modal dan birokrat. atau kolaborasi keduanya. Sebagai contoh, operasi pukat harimau (trawl), penyerobotan wilayah tangkap oleh nelayan-nelayan besar bahkan nelayan dari luar wilayah NKRI atau nelayan asing yang cenderung diabaikan oleh pemerintah, sehingga wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground) terbatas, dan terbatas pula sumber daya perikanannya.
Padahal Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan pendapatan nelayan Indonesia pada 2010 meningkat dibandingkan tahun 2009. Pendapatan nelayan buruh tahun 2010 sebesar Rp 1.287.126, per kapita per bulan. Angka itu naik 127,59 persen dari tahun 2009 yang sebesar Rp 565.550 per kapita per bulan. Pendapatan nelayan pemilik juga naik 91,94 persen dari Rp 1.649.930 per kapita per bulan pada 2009 menjadi Rp 3.166.906 per kapita per bulan.
“Pendapatan tahun ini bahkan melebihi target kita sebelumnya,” kata Dirjen Perikanan Tangngk Dedi Sutisna dalam pemaparan Refleksi 2010 dan Outlook 2011. Selama ini, Dirjen Perikanan Tangkap KKP menggenjot pendapatan nelayan dengan jalan pemberdayaan nelayan tradisional, pemberian bantuan melalui Program usaha Mina Pedesaan, dan penghapusan berbagai macam retribusi yang selama ini menggerogoti pendapatan nelayan di berbagai daerah.
Tentu saja pernyataan Dirjen Perikanan Tangkap KKP ini langsung dibantah keras oleh Riza Damanik, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Menurut Riza, Dirjen Perikanan Tangkap KKP telah melakukan kebohongan publik jika pendapatan nelayan itu meningkat. Karena tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan yang dihadapi pada nelayan.
“Kalau Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP mengatakan pendapatan nelayan meningkat itu adalah suatu kebohongan publik. Emang tuh pak Dirjen enggak tahu apa kondisi riil nelayan kita miskin?, “tanya Riza kepada Indonesia Maritime Magazine.
“Bagaimana pendapatan nelayan bisa naik kalau kondisi tidak memungkinkan mereka untuk melaut. Ini masih ditambah lagi dengan persoalan lain seperti meluasnya penyelewengan pemakaian BBM bersubsidi, masih maraknya pungutan perikanan, dan rendahnya harga ikan karena kecurangan tengkulak dan tak berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan,” tegas Riza.
Jumlah Nelayan Berkurang
Berdasarkan data Kiara tahun 2010, dalam sebulan nelayan tradisional melaut hanya 160 -180 hari per tahun. Turunnya frekuensi melaut ini berdampak langsung terhadap pendapatan nelayan hingga 50 -70 persen. Kondisi ini diperburuk dengan cuaca ekstrem yang melanda seluruh perairan Indonesia.
Meski cuaca ekstrem terjadi, nelayan pada umumnya pantang untuk berhenti melaut. Terlebih saat kebutuhan hidup terus membubung. Tiharom, nelayan Kampung Marunda Kepu, Jakarta, mengatakan hasil tangkapan ikannya terus menurun drastis. Tiap melaut, ia hanya mampu memperoleh dua puluh ribu rupiah sampai empat puluh ribu rupiah. Besar tangkapannya berkisar antara 2-3 kilogram ikan.
Kondisi yang tak jauh berbeda juga dialami oleh Nirwan, nelayan dari Teluk Sibolga, Sumatera Utara. Dengan frekuensi melaut hanya 15 hari tiap bulannya, mustahil pendapatannya bisa meningkat.
“Fakta ini mempertontonkan bahwa klaim demi klaim yang disampaikan KKP tak menuai buktinya di pelbagai perkampungan nelayan. Cukup sukar akal sehat menerima laporan pendapatan nelayan buruh meningkat. Jika benar pendapatan nelayan meningkat, lalu mengapa jumlah nelayan yang memilih untuk beralih profesi terus meningkat?” tanya Riza.
Riza Damanik mengatakan, dalam 10 tahun terakhir jumlah nelayan kita berkurang 25 persen. Sekarang jumlahnya sekitar 2,8 juta kepala keluarga nelayan tangkap di laut. Ada beberapa faktor penyebab berdasarkan temuan di beberapa daerah. Pertama, karena kebijakan yang tidak menguntungkan. Kedua, karena memang ada pengabaian baik oleh pemerintah maupun industri yang melakukan pencemaran di laut mereka. Ketiga, ada yang disebut dengan praktik pengusiran. Ini jelas sekali terlihat di kawasan industri pariwisata dimana nelayan-nelayan kita tidak boleh menangkap ikan dengan alasan wilayah pariwisata.
Menurut Riza Damanik, perlu ada langkah luar biasa agar tetap ada masyarakat yang mau menjadi nelayan seperti antara lain memberi asuransi kepada nelayan agar mereka lebih berani untuk pergi melaut. Kedua, harus ada langkah luar biasa juga untuk menyiapkan sistem informasi yang sampai ke kampung-kampung nelayan mengenai kondisi laut. Informasinya tidak hanya mengatakan kapan melaut dan kapan tidak melaut, tetapi juga ada alternatif kemana mereka harus pergi melaut. Saya kira hari ini dampak perubahan iklim menyebabkan wilayah tangkap ikan berubah.
Dampak perubahan iklim, lanjut Riza, suhu air laut meningkat, peningkatan suhu ini akan membuat perubahan wilayah hidup ikan-ikan di laut. Sayangnya perubahan tidak bisa diikuti oleh nelayan-nelayan kita karena keterbatasan teknologi, informasi dan sebagainya.
“Akibat dari tidak melaut adalah anaknya tidak bisa pergi sekolah, istrinya tidak bisa memasak di dapur. Setelah satu minggu, dia berangkat pergi melaut tapi akhirnya meninggal dunia di laut karena cuaca ekstrim tadi, gelombang tinggi dan sebagainya. Dalam pandangan kami dia meninggal mulia, dia menjalankan misi keluarga. Jadi kami dalam berbagai kesempatan mengusulkan paling tidak dua hal yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus segera mengeluarkan Asuransi Jiwa kepada nelayan kita secara cuma-cuma. Saya kira ini sangat penting. Saya yakin siapapun anak-anak nelayan kita hari ini tidak berminat untuk menjadi seorang nelayan,” imbuhnya.
Selain itu, KIARA juga mendesak kepada pemerintah untuk menghentikan ekspor ikan gelondongan atau beku dan segar dalam bentuk utuh ke berbagai negara. Mengingat, ekspor ikan dalam bentuk gelondongan, tidak memiliki nilai tambah justru malah merugikan nelayan karena berkurangnya tangkapan ikan. Juga pendapatan negara dari sektor perikanan berkurang.
“Ekspor ikan gelondongan, nilai ekspornya sangat murah dibandingkan dengan ekspor ikan olahan. Selama ini, industri perikanan enggan mengolahnya namun dilakukan secara pintas dengan mengeskpor langsung ikan gelondongan. Dengan anggapan ikan di perairan Indonesia sangat melimpah,” ungkapnya.
Memang, sambung Riza, luasnya wilayah perairan Indonesia menghasilkan ikan yang melimpah. Namun jika tidak diantisipasi sejak dini dengan melarang ekspor ikan gelondongan, Indonesia terancam krisis perikanan, juga tidak ada nilai tambah yang dihasilkan. Dijelaskan sudah ada indikasi terjadinya krisis perikanan. Terbukti masih banyaknya nelayan tradisional yang rata-rata berpenghasilan kurang dari Rp 10 juta per tahun. Padahal, nelayan tradisional merupakan pemasok dari 75 persen volume ikan domestik di wilayah Indonesia.
Selain itu, terdapat sekitar 80 persen kapal asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal dan bebas keluar masuk kawasan perairan Nusantara. Kesemuanya mempercepat krisis ikan nasional.
Karenanya salah satu solusi dengan melarang ekspor ikan gelondongan. Dangan jalan itu, industri pengolahan ikan nasional bisa tumbuh dan berkembang sehingga pendapatan negara dari sektor perikanan akan meningkat lebih dari 30 persen, ucapnya.Di samping itu, konsumsi ikan nasional akan terlindungi, sehingga konsumi ikan dimungkinkan akan meningkat menjadi 40 kg per kapita per tahun pada 2014. Karenanya, jika pemerintah konsisten menjalankan dan mengawasi secara serius, sektor perikanan akan benar-benar menjadi solusi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu kelestarian sumber daya ikan dapat segera pulih kurang dari 10 tahun.
Mengenai kebutuhan ikan dengan ketersedian ikan, menurut Riza, kondisi ketersediaan ikan Indonesia  sangat memprihatinkan sekali. Penelitian terakhir, pada tahun 2007, ia melihat bahwa pada 2015 kita akan mengalami krisis ikan yang luar biasa kalau tidak ada perubahan untuk menghentikan pencurian dan ekspor perikanan tadi.
Untuk mengatasi krisis ikan tersebut, masih kata Riza pemerintah harus memenuhi hak-hak nelayan dan petambak tradisional kita. “Kami melihat sampai hari ini regulasi kita tidak memberikan perlindungan terhadap wilayah tangkap tradisional. Saat ini nelayan tradisional kita hanya memiliki alat tangkap yang sederhana sekali, daya jangkau nelayan tradisional hanya mencapai maksimum tiga mil untuk menangkap ikan. Tapi justru di wilayah tangkap ini kita menemukan pencemaran yang cukup marak sekali, sehingga mereka tidak bisa menangkap ikan sehat dalam jumlah besar di kawasan ini,” urainya.
KIARA juga masih masih menemukan praktik penangkapan ikan dengan kapal besar menggunakan troll, dan sebagainya di wilayah tersebut. Dalam posisi demikian, nelayan tradisional kita sangat sulit sekali beraktifitas melakukan penangkapan ikan yang berkelanjutan.
“Bagi keluarga nelayan juga tersedianya informasi cuaca dan lokasi penangkapan ikan secara rutin dan mutakhir adalah teramat penting untuk meningkatkan produksi ikan nelayan. Selain itu juga memudahkan akses terhadap BBM bersubsidi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia nelayan, modal usaha, dan asuransi iklim,” terang Riza.
Kesemuanya hanya akan berhasil guna jika perairan laut sebagai sumber pangan, budaya, dan ilmu pengetahuan, terjamin ‘kesehatannya’. Dalam hal ini, penegakan hukum lingkungan tidak boleh dikesampingkan.
Kegagalan tidak perlu ditutupi dengan kebohongan. Dengan membukanya ke hadapan publik, maka rakyat pekerja nelayan, petani, buruh, dan pekerja migran, akan terba­ngun eksistensinya untuk bangkit, mandiri, dan sejahtera.

Sugito Movie


By : Media Center Sugitopati Demokrat
Klik untuk melihat
Anda bisa melihat dan membaca artikel dari bolg kami :

Sabar sejenak kami sedang memuat...
DTE :]

(Klik Disini) Lihat Peta Taman Walet

SUGITO.SE
CALEG NO.3 PARTAI DEMOKRAT
DPRD KAB.TANGERANG 2014
DAPIL 3 : PASAR KEMIS, SINDANGJAYA dan RAJEG
MEDIA CENTER
Email : sugitopati@ymail.com
SMS Online : 0856-9333-7299